Minggu, 30 November 2008

MADRASAH IBTIDAIYAH DI TENGAH PERSAINGAN DENGAN SDIT

Penelitian tentang madrasah dalam buku karya Steenbrink menyatakan bahwa jenjang madrasah yang nyaris sudah tidak memiliki madrasah adalah jenjang pendidikan ibtidaiyah. Namun masih terbatas pada madrasah ibtidaiyah di perkotaan. Hal ini terjadi karena masyarakat kota memiliki kecenderungan lebih rasional dalam menentukan sekolah bagi anaknya. Disamping itu MI di perkotaan memiliki kompetitor riil, yaitu sekolah milik Depdiknas maupun SD-SD berlabel Islam. Belum lagi kompetitor dari sekolah-sekolah non Islam. Penelitian tersebut sudah kadaluarsa, masih perlu penelitian tentang MI dengan Sekolah Dasar yang memproklamirkan sebagai SDIT (sekolah dasar Islam Terpadu).

Apa Beda MI dan SDIT
Kalau dilacak sebenarnya tidak ada perbedaan antara MI dengan SDIT karena mata pelajarannya masih relatif sama. Hanya berbeda pada persoalan semua yang memakai istilah madrasah "diharuskan" di bawah DEPAG, sedangkan jika memakai istilah sekolah wajib berada di bawah Diknas. Pengindukan semacam itu berimplikasi pada dana yang akan diperoleh oleh madrasah maupun sekolah. Ada kecenderungan SDIT yang berada di bawah Diknas lebih banyak mendapatkan dana dan dana untuk kesejahteraan guru lebih tinggi serta peluang menjadi PNS lebih besar dibandingkan kalau berada di bawah Depag. Belum lagi ada kesan di tengah masyarakat yang kurang familier terhadap istilah madrasah bahwa sekolah dengan nama madrasah mata pelajaran umumnya terlalu sedikit. Kondisi ini semakin diperburuk oleh banyaknya SDIT yang berdiri, karena semakin meneguhkan kondisi bahwa madrasah adalah sekolah yang memang tidak bersaing dalam mata pelajaran umum. Ini bisa dikatakan sebagai ancaman sekaligus peluang. Ancaman sudah dipaparkan di atas. Peluangnya bahwa MI minimal harus menyesuaikan kebutuhan pelanggan langsung maupun tidak langsung. Ini yang belum dipahami oleh pengelola madrasah. Peluang yang kedua, madrasah bisa mengintegrasikan antara ilmu agama (akhirat) dengan ilmu umum (duniawi). Cara yang bisa dipakai adalah mengkaji kembali Qur'an dan Sunnah sebagai Grand theory.
Selamat mencoba mempraktekkan Qur'an dan Sunnah di sekolah.

Rabu, 26 November 2008

MENEGASKAN ISLAM SEBAGAI ILMU

Perdebatan antara ilmu dan agama sampai saat ini masih dan akan terjadi. Hal ini merupakan konsekuensi dari berkembangnya beragam agama, baik agama samawi maupun ardli. Dari sisi agama samawi-pun masih juga ada masalah karena kriteria masing-masing agama samawi juga ada perbedaan dalam gradasi antara ibadah mu'amalah dan ibadah ritual. Gradasi yang sangat kuat terletak pada agama Islam, sehingga memunculkan istilah islamisasi ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Ismail Raji' Al Faruqi, Naquib Al Attas dan Kuntowijoyo (ilmu profetik). Dalam hal ini ada pendapat menarik dari seorang Ulama dari Iran menyatakan:

Dalam Al Qur’an Perbandingan antara ayat muamalah (ibadah sosial) dengan ayat berkaitan ibadah ritual (ibadah vertikal dengan Allah) adalah 100 ayat berbanding 1 ayat,

Dalam Hadis dari sekitar 50 pokok bahasannya tidak lebih dari tiga atau empat yang berbicara tentang ibadah ritual, selainnya adalah berkaitan dengan mu’amalah (ibadah sosial)”.

Kesimpulan awalnya bahwa Islam (Qur'an dan Sunnah) adalah agama untuk orang hidup, maka implikasinya Qur'an dan Sunnah mengandung banyak ilmu keduniaan (epistemologi, aksiologi dan lainnya). Coba kita lacak dari Surat Yasin saja, akan muncul ilmu pertanian dan derivasinya (ilmu tanah, ilmu untuk mengawinkan tanaman, ilmu berkaitan dengan air hujan, sampai teknologi pertanian). Surat Yasin ayat 33 - 36, menunjukkan hal tersebut.

Kajian surat Yasin memiliki kandungan ilmu lain- diantaranya zoologi (ilmu binatang), ilmu kelautan beserta turunan ilmunya. Pembahasan ini akan diperluas pada edisi lain.

Persoalannya bagaimana kepedulian lembaga pendidikan Islam mengembangkan ilmu yang berdasarkan pada ilmu dalam Qur'an dan Sunnah? Madrasah Ibtidaiyah Al Islam semestinya bisa memulainya. Tanpa langkah ini maka anak-anak kita akan semakin sekuler. Karena menurut KH. Abdullah Gymnastiar untuk memecahkan persoalan bangsa diperlukan: mulai dari diri sendiri, mulai saat ini juga, dan mulai dari yang kecil. Selamat mencoba mengembangkan ilmu berbasis keislaman.

Kamis, 13 November 2008

MENGEMBANGKAN EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN

Dalam pengembangkan efektifitas pembelajaran perlu diketahui masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa. Secara garis besar, masalah individual dan kelmopok.
Masalah Individual :
1. Attention getting behaviors (pola perilaku mencari perhatian).
2. Power seeking behaviors (pola perilaku menunjukkan kekuatan)
3. Revenge seeking behaviors (pola perilaku menunjukkan balas dendam).
4. Helplessness (peragaan ketidakmampuan).

Masalah Kelompok :
Kelas kurang kohesif, karena alasan jenis kelamin, suku, tingkatan sosial ekonomi, dan sebagainya.
Penyimpangan dari norma-norma perilaku yang telah disepakati sebelumnya.
Kelas mereaksi secara negatif terhadap salah seorang anggotanya.
“Membombong” anggota kelas yang justru melanggar norma kelompok.
Kelompok cenderung mudah dialihkan perhatiannya dari tugas yang tengah digarap.
Semangat kerja rendah atau semacam aksi protes kepada guru, karena menganggap tugas yang diberikan kurang fair. Kelas kurang mampu menyesuakan diri dengan keadaan baru.

Pendekatan yang dipakai dalam menangani masalah di atas adalah:
Behavior - Modification Approach (Behaviorism Apparoach)
Asumsi yang mendasari penggunaan pendekatan ini adalah bahwa perilaku “baik” dan “buruk” individu merupakan hasil belajar. Upaya memodifikasiperilaku dalam mengelola kelas dilakukan melalui pemberian positive reinforcement (untuk membina perilaku positif) dan negative reinforcement(untuk mengurangi perilaku negatif). Kendati demikian, dalam penggunaan reinforcement negatif seyogyanya dilakukan secara hati-hati, karena jika tidak tepat malah hanya akan menimbulkan masalah baru.

Socio-Emotional Climate Approach (Humanistic Approach)
Asumsi yang mendasari penggunaan pendekatan ini adalah bahwa proses belajar mengajar yang baik didasari oleh adanya hubungan interpersonal yang baik antara peserta didik - guru dan atau peserta didik – peserta didik dan guru menduduki posisi penting bagi terbentuknya iklim, sosio-emosional yang baik.

Prinsip – prinsip dalam penerapan pendekatan group proses :
1. mutual expectations;
2. leadership;
3. attraction (pola persahabatan);
4. norm;
5. communication;
6. cohesiveness

Kamis, 06 November 2008

REVITALISASI AL ISLAM DI SEKOLAH MELALUI SOSIALISASI KITAB-KITAB KARYA PENDIRINYA

Banyak orang belum tahu kalau pendiri Al Islam KH. Imam Al Ghazali adalah seorang yang produktif di bidang tulisan, minimal kompilasi Hadis dan Al Qur'an dalam topik-topik penting seputar keislaman. Kitab yang favorit para siswa Al Islam Solo (dulu) diantaranya: Kitab Al Buyu', Kitab Al Islam dan Wal Muslim, dan At Tijjan Fi Syu'ab Al Iman. Kitab tersebut saat ini bisa diyakini kurang populer di kalangan siswa Al Islam terutama di Kartasura. Disinilah perlu revitalisasi kitab-kitab tersebut di sekolah Al Islam Kartasura.
Sistem yang bisa dipakai: sosialisasi kitab tersebut di tingkat pengelola Yayasan, guru-guru dan karyawan dengan cara pengkajian rutin. Dengan begitu komponen utamanya tergarap. Lanjutannya para siswa dibekali kitab At Tijjan Fi Syu'ab Al Iman dengan cara mengkajinya beserta artinya. Selain mengkaji kitab ini secara bertahap siswa kelas 1-6 harus bisa hafal dari Hadis yang tercantum di kitab tersebut.
Ketika semacam inilah, identitas Al Islam terlihat kembali dimana orang yang sekolah Al Islam bisa berdiri di atas dan berada di semua golongan. Semoga.

Rabu, 29 Oktober 2008

PENGELOLAAN KOMITE MADRASAH

9

Era reformasi membawa perubahan yang sangat mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan yang dimaksud terutama menyangkut kehidupan sosial yang sentralistik ke desentralistik, tercermin dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah berkaitan dengan otonomi yang berbasis daerah kota/kabupaten dan desa. Implikasi langsung dari kebijakan ini adalah bahwa semua kebijakan publik harus berasal dari bawah/masyarakat (bottom-up) dan bukan lagi dari atas yaitu pemerintah (top-down). Keterlibatan masyarakat, baik sebagai pelaku dan subyek, dalam proses perencanaan dan pelaksanaan sampai pemanfaatan sesuatu yang berkait dengan publik harus demokratis dan sesuai dengan kebutuhan warga.

Diantara aspek yang diotonomikan adalah bidang pendidikan, seperti tercantum dalam pasal 11 dari undang-undang tersebut yang mengamanatkan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup semua bidang pemerintahan yaitu pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanian, koperasi serta tenaga kerja. Berkaitan dengan persoalan itu diperlukan rekonstruksi sektor pendidikan agar sesuai kebutuhan masyarakatnya, karena menurut Smith yang dikutip Syarif Hidayat (2000:11) diberlakukannya otonomi daerah mencakup sektor pendidikan dapat tercipta local capability, yakni meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperbaiki hak-hak komunitasnya. Menggarisbawahi pendapat smith tersebut, menurut Miftah Thoha (1999:1) pendidikan saat ini dan di masa depan harus berorientasi pada aspirasi masyarakat (putting costumer first) dengan cara need assessment di tingkat grassroot pada persoalana sistem pendidikan, macam kurikulum, dan persyaratan pengajarnya.

Secara operasional, Nuril Huda (1999:16) menawarkan tiga konsep desentralisasi pendidikan :

1. Site-Based Management atau School Based Management

2. Pengurangan administrasi pusat,

3. Inovasi kurikulum

Dari ketiga pendapat di atas, pemerintah saat ini sedang berupaya mengimplementasikan amanat otonomi daerah. Dalam bidang pendidikan upaya mengimplementasikannya dikuatkan dengan UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 terutama pada Bab Pembangunan Pendidikan, diantaranya berupaya mewujudkan kebijakan manajemen berbasis sekolah/masyarakat (MBS/M) yang berimplikasi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS).

Konsep MBS pada hakekatnya bagus, tetapi masih banyak orang yang belum memahaminya dan menyadarinya, karena tidak mau terjebak pada persoalan nama sebelumnya, seperti kasus BP3 maupun yang sejenis. Kasus yang selama ini terjadi lebih banyak melibatkan orang tua dan masyarakat pada tataran pendanaan saja (berupa penarikan SPP, uang BP3, uang gedung, atau jenis pungutan yang lainnya) dan belum pada persoalan riil sekolah yang cakupannya tidak hanya sekedar pendanaan saja. Penerapan MBS di berbagai negara (Duke and Cannady, 1991:129-138) menunjukkan hal yang positif bagi pemecahan masalah yang dihadapi pendidikan secara makro di kabupaten/kota maupun mikro di tingkatan sekolah.

Berangkat dari pemikiran itulah, tulisan ini berupaya menggambarkan seluk beluk MBS yang mencakup pengertian MBS, Prinsip MBS, model MBS, dan strategi implementasinya di sekolah pedesaan.

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen berbasis sekolah merupakan istilah lain dari School Based Management atau Site Based Management (SBM). Dornseif (1996:2) menyatakan bahwa School Based Management describes a collection of practices in which more people at the school level make decisions for the school. Pendapat yang hampir sama yang agak operasional dikemukakan Marburger yang dikutip Brown (1990:90) mendefinisikan SBM sebagai one which explicitly include shared power with teachers, principals, parent, citizens, and students. SBM bermakna pembagian kekuasaan antara guru, kepala sekolah, orang tua, masyarakat, dan siswa. Pendapat lain dikemukakan Supriono S, dan Achmad Sapari (2001) yang menyatakan bahwa MBS sebagai formula pengelolaan pendidikan yang berupaya meningkatkan mutu pendidikan, efisiensi, dan pemerataan yang memungkinkan sekolah memiliki otonomi seluas-luasnya yang menuntut peran serta masyarakat secara optimal dan menjamin kebijakan nasional tidak terabaikan.

Ketiga pendapat itu dapat disimpulkan bahwa manajemen berbasis sekolah adalah model pengelolaan pendidikan yang memasukkan pembagian kekuasaan antar komponen sekolah (guru, kepala sekolah, orang tua, warga negara, dan siswa) agar terjadi peningkatan mutu, efisiensi, dan pemerataan.

Kosekuensi dari MBS berdasarkan pengertian di atas adalah kebutuhan keterlibatan (involvement) dan keikutsertaan (partisipation) antar semua komponen dalam pendidikan, baik langsung maupun tidak langsung.

Dua istilah itu kelihatannya sama, tetapi sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Marsh (1996:194) menyebut involvement means very limited opportunities whereby parents undertake activities that have been designed and initiated by the school principal and staff. Keterlibatan (involvement) lebih bermakna orang tua siswa bersifat pasif karena inisiatif semuanya dari kepala sekolah dan stafnya. Sedangkan menurut pendapat Marsh menyebut partisipasi sebagai Participation is to do with sharing or influencing decisions on policy matters and includes an active decision making role in such areas as school policy, staffing, and profesional development of staff, budget, grounds and buildings, management of resources and the school curriculum. Partisipasi lebih bersifat aktif dalam mempengaruhi keputusan dari semua pihak dalam segala hal yang berkaitan dengan sekolah, baik kebijakan sekolah, formasi kepegawaian, pengembangan profesional staf, anggaran, tanah dan bangunan, pengelolaan sumber daya serta kurikulum sekolah. Kedua istilah ini sesuai pengertian Manajemen Berbasis Sekolah lebih sesuai dan cocok memakai istilah partisipasi, karena semangatnya seiring dan sejalan. Karena menurut konsep yang dikembangkan Depdiknas (2001:3) pada hakekatnya MBS merupakan pemberian otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua, dan masyrakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dari semua pengertian di atas mengandung maksud bahwa MBS itu merupakan wahana untuk pemberdayaan sekolah, keluarga, dan masyarakat secara bersama-sama dalam meningkatkan mutu sekolah. Dengan demikian MBS disebut juga dengan istilah Shared Decision-Making (SDM) (Duke and Cannady, 1991:133), karena pembuatan keputusan atau kebijakan sekolah merupakan hasil keterlibatan semua pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dalam dunia pendidikan. Pengertian-pengertian di atas mengandung maksud bahwa MBS memiliki beberapa dimensi sebagai berikut :


Tabel 1. Perbandingan Pola Sentralisasi dengan Desentralisasi

Pola Lama (sentralisasi)

Pola Baru (desentralisasi)

Subordinasi

Pengambilan keputusan terpusat

Ruang gerak kaku

Pendekatan birokratik

Sentralistik

Diatur

Overregulasi

Mengontrol

Mengarahkan

Menghindari resiko

Gunakan uang semuanya

Individual yang cerdas

Informasi terpribadi

Pendelegasian

Organisasi hirarkis.

Otonomi

Pengambilan keputusan partisipatif

Ruang gerak luwes

Pendekatan profesional

Desentralistik

Motivasi diri

Deregulasi

Mempengaruhi

Memfasilitasi

Mengelola resiko

Menggunakan anggaran seefisien mungkin

Teamwork yang cerdas

Informasi terbagi

Pemberdayaan

Organisasi datar

(Depdiknas, 2001:7-8)

Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah memerlukan sebuah lembaga khusus dan mandiri di basis otonomi daerah dan setiap jenjang pendidikan, baik berupa dewan pendidikan/sekolah di Kabupaten/Kota, dan komite sekolah di tingkat satuan jenjang pendidikan. Lembaga ini merupakan lembaga independen sebagai mitra teknis bidang pendidikan dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan (Depdiknas, 2002:5).

Beberapa pengertian di atas, dapat ditarik beberapa prinsip MBS, diantaranya : Pertama. Sekolah diasumsikan yang paling tahu tentang sekolah dan siswanya, sehingga keputusan tentang sekolah dibuat oleh orang-orang yang terkait dengannya. Kedua. Sekolah adalah unit terbesar dalam efektifitas sekolah. Ketiga. Guru, orang tua siswa dan masyarakat (tokoh masyarakat atau profesi) dapat membantu dalam pembuatan keputusan tentang program pendidikan, kurikulum, pengelolaan sumber daya (keuangan, manusia, dan alam) dan pengembangan profesional staf (administrasi maupun fungsional : guru dan pustakanwan).

Model Manajemen Berbasis Sekolah

Tulisan Duke and Cannady (1991), Dornseif (1996), maupun Depdiknas (2002) memberikan gambaran tentang model MBS. Model itu memberikan kejelasan tentang perlunya Dewan Pendidikan/Sekolah di tingkat basis penerapan otonomi daerah dan Komite Sekolah di tingkat satuan jenjang pendidikan (SD/MI, SLTP/MTs, maupun Sekolah Menengah (SMU/SMK/MA). Tujuan dari pembentukan lembaga ini menurut Dornseif (1996:5) dan Depdiknas (2002:14 dan 27) adalah :

1. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta prakarsa masyarakat dalam kebijakan pendidikan di setiap satuannya.

2. Menetapkan visi dan tujuan sekolah

3. Mengembangkan rencana strategis dan peningkatan sekolah (transparansi, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan layanan pendidikan).

4. Menentukan prioritas tujuan sekolah

5. Memajukan kegiatan orang tua

6. Mengembangkan sebuah rencana untuk melibatkan masyarakat bisnis di sekolah.

7. Mengembangkan rencana untuk memajukan sekolah.

Tujuan tersebut mengndung maksud bahwa peningkatan kualitas sekolah tidak hanya berstatus involvement (keterlibatan) saja tetapi juga partisipation (keikutsertaan). Sebagai implikasinya keanggotaannyapun harus beragam, baik dari dalam maupun luar sekolah. Menurut Dornseif (1996:9) keanggotaanya bisa terdiri dari: Kepala Sekolah, Guru, Staf Sekolah, Orangtua, Masyarakat, dan siswa, sedangkan jumlahnya menyesuaikan kebutuhan masing-masing satuan jenjang pendidikan. Tabel berikut ini dapat dilihat komposisi keanggotaannya adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Perbandingan Keanggotaan Komite Sekolah

Komponen

Jumlah Anggota

Tingkat SD

Tingkat SLTP/SM

Kepala Sekolah

1 orang

1 orang

Guru

4 orang

5 - 6 orang

Staf Sekolah

1 orang

1 - 2 orang

Orang Tua

5 orang

4 - 5 orang

Masyarakat

1 orang

1 orang

Siswa

-

2 – 3 orang

Tabel di atas memberikan gambaran bahwa jumlah guru dan siswa yang mewakili harus berbeda kelas, dan berbeda jurusan di tingkat Sekolah Menengah. Selain itu juga memperlihatkan bahwa di tingkat SD belum menyertakan siswanya dikarenakan mereka masih belum bisa dilibatkan dalam kegiatan yang bersifat pengambilan kebijakan yang rata-rata berfikir reflektif, antisipatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru yang dilibatkan dalam pembuatan kebijakan sekolah akan meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajarannya di sekolah (Duke dan Cannady, 1991:132). Begitu pula melibatkan siswa dalam pembuatan kebijakan sekolah dapat meningkatkan partisipasi mereka dalam pengembangan kebijakan disiplin sekolah, sehingga bisa mengurangi kekerasan dan sifat suka merusak di sekolah (Duke dan Cannady, 1991:133). Dengan demikian pelibatan mereka semua dalam Komite pendidikan ataupun sekolah merupakan langkah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas sekolah.

A. Implementasi MBS

Penerapan MBS dinyatakan secara pesimis oleh Sutandyo Wignyosubroto (Dadang Yuliantara, 2000:30-33) yang menyatakan bahwa kehidupan Indonesia merupakan model kehidupan dari homo hierarchicus (tatanan diskriminatif antara Gusti dan kawula) yang sudah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia dan mulai akan diubah ke model kehidupan homoaequalis (yang memandang sesama manusia sebagai manusia sesama). Akan sangat sulit untuk menerapkan model ini dalam masyarakat seperti ini, tetapi dengan rencana tersengaja dan kontinuitas dari masyarakat sendiri tanpa harus ada intervensi pemerintah. Dilihat dari pendapat pesimis tersebut, maka implementasi MBS juga akan mengalami kesulitan karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk partisipasi semua kalangan.

Cara pandang yang berbeda dinyatakan Ryaas Rasyid (Dadang Yuliantara, 2000: 265) bahwa mendudukkan kembali posisi desa atau dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum adat terendah yang memiliki asal usul dan otonomi asli yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi dasar pemikiran dalam rangka pengembangan model homoaequalis (yang memandang sesama manusia sebagai manusai sesama) rakyat. Pendapat ini memberikan rasa optimis dalam implementasi MBS, karena masyrakat biasa menggunakan kaidah “semuanya dapat dimusyawarahkan” (Jawa : ono rembug yo dirembug).

Pertanyaannya bagaimana Komite Madrasah di MI Al Islam? Wallaahu a’lam.


Daftar Pustaka

Brown, Daniel J. 1990. Decentralization and School-Based Management. London : The Falmer Press.

Dadang Yuliantara. 2000. Arus Bawah Demokrasi : Otonomi dan Pemberdayaan Desa. Yogyakarta : LAPERA.

Depdiknas. 2002. Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Materi Pelatiha Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Jakarta : Ditjen Dikdasmen Depdiknas.

Depdiknas. 2001. Manajemen PeningkatanMutu Berbasis Sekolah Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta : Ditjen Dikdasmen Depdiknas.

Duke, Daniel L. and Cannady, Robert Lynn. 1991. School Policy. New York : Mc. Graw-Hill.

Dornseif, Alain. 1996. Pocket Guide to School-Based Management. Virginia: Association of Supervision and Curriculum Development.

E. Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung : Remaja Rosda Karya.

Erry Utomo, Sumiyati, dan Suwandi. 1997. Pokok-Pokok Pengertian Dan Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal. Jakarta : Depdikbud.

Griffin, Ricky W. & Moorhead, Gregory. 1986. Organizational Behavior. Boston : Houghton Mifflin Company.

Marsh, Colin. 1996. Handbook for Beginning Teachers. Melbourne : Longman.

Miftah Thoha. 1999. Desentralisasi Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 Tahun ke-5 Juni 1999.

Nurhatati Fuad. 2001. Manajemen Berbasis Sekolah. Makalah. Jakarta: DMAP, Ditpenda Depag, dan PPSDM IAIN Jakarta.

Nuril Huda. 1999. Desentralisasi Pendidikan : Pelaksanaan dan Permasalahannya. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 Tahun ke-5 Juni 1999.

Supriono S. dan Achmad Sapar. 2001. Manajemen Berbasis Sekolah. Surabaya: SIC.

Syarif Hidayat. 2000. Otonomi Daerah vs Perjuangan Kepentingan Elite Lokal: Sebuah Kasus Realitas Otonomi Daerah. Jurnal Analisis Sosial vol. 5 No. 1 Jaunari 2000.

UU No. 22 Tahun 1999

UU No. 25 Tahun 1999

Amandemen Terakhir UUD 1945.

Jumat, 24 Oktober 2008

MI AL ISLAM MULAI BERKIPRAH DI DUNIA MAYA

MI AL ISLAM KARTASURA telah berumur lebih dari 30 tahun, tetapi perjalanan yang panjang belum terpublikasikan. Kalaulah terpublikasikan baru sekedar melalui dunia tutur. Sementara dunia tutur usianya tidak panjang dan kadang ditambah ataupun dikurangi. Banyak orang bercerita bahwa MI ini sudah lama usianya, kata siapa dan apa buktinya? Tanya saja ke alumni? Alumni tahun berapa yang mengatakan hal tersebut? Apa bukti tertulisnya? pasti tidak ada jawaban pasti.
Tanyakan saja ke kepala sekolah? siapa kepala sekolah yang akan ditanya? Pak Dardiri, Bu Siti Robingah atau Bu Umi? Jawabannyapun juga tanpa memiliki bukti. Tetapi bukan bermakna bahwa tidak benar apa yang dinyatakan oleh kepala sekolah maupun mantan kepala sekolah.
Kita harus mulai belajar, mengapa Qur'an dan Hadis harus tertulis? Inilah semangat yang dilupakan oleh MI AL ISLAM. Sementara kata Ali Bin Abi Thalib: Ikatlah perkataan dengan Tulisan.
Berangkat dari pemikiran itulah blogspot ini dibuat. Semoga menjadi sejarah yang baru dan menjadi wahana silaturahim bagi orang yang saat ini sedang, akan dan telah mengemnyam bangku MI AL ISLAM KARTASURA. Semoga bermanfaat.