Minggu, 30 November 2008

MADRASAH IBTIDAIYAH DI TENGAH PERSAINGAN DENGAN SDIT

Penelitian tentang madrasah dalam buku karya Steenbrink menyatakan bahwa jenjang madrasah yang nyaris sudah tidak memiliki madrasah adalah jenjang pendidikan ibtidaiyah. Namun masih terbatas pada madrasah ibtidaiyah di perkotaan. Hal ini terjadi karena masyarakat kota memiliki kecenderungan lebih rasional dalam menentukan sekolah bagi anaknya. Disamping itu MI di perkotaan memiliki kompetitor riil, yaitu sekolah milik Depdiknas maupun SD-SD berlabel Islam. Belum lagi kompetitor dari sekolah-sekolah non Islam. Penelitian tersebut sudah kadaluarsa, masih perlu penelitian tentang MI dengan Sekolah Dasar yang memproklamirkan sebagai SDIT (sekolah dasar Islam Terpadu).

Apa Beda MI dan SDIT
Kalau dilacak sebenarnya tidak ada perbedaan antara MI dengan SDIT karena mata pelajarannya masih relatif sama. Hanya berbeda pada persoalan semua yang memakai istilah madrasah "diharuskan" di bawah DEPAG, sedangkan jika memakai istilah sekolah wajib berada di bawah Diknas. Pengindukan semacam itu berimplikasi pada dana yang akan diperoleh oleh madrasah maupun sekolah. Ada kecenderungan SDIT yang berada di bawah Diknas lebih banyak mendapatkan dana dan dana untuk kesejahteraan guru lebih tinggi serta peluang menjadi PNS lebih besar dibandingkan kalau berada di bawah Depag. Belum lagi ada kesan di tengah masyarakat yang kurang familier terhadap istilah madrasah bahwa sekolah dengan nama madrasah mata pelajaran umumnya terlalu sedikit. Kondisi ini semakin diperburuk oleh banyaknya SDIT yang berdiri, karena semakin meneguhkan kondisi bahwa madrasah adalah sekolah yang memang tidak bersaing dalam mata pelajaran umum. Ini bisa dikatakan sebagai ancaman sekaligus peluang. Ancaman sudah dipaparkan di atas. Peluangnya bahwa MI minimal harus menyesuaikan kebutuhan pelanggan langsung maupun tidak langsung. Ini yang belum dipahami oleh pengelola madrasah. Peluang yang kedua, madrasah bisa mengintegrasikan antara ilmu agama (akhirat) dengan ilmu umum (duniawi). Cara yang bisa dipakai adalah mengkaji kembali Qur'an dan Sunnah sebagai Grand theory.
Selamat mencoba mempraktekkan Qur'an dan Sunnah di sekolah.

Rabu, 26 November 2008

MENEGASKAN ISLAM SEBAGAI ILMU

Perdebatan antara ilmu dan agama sampai saat ini masih dan akan terjadi. Hal ini merupakan konsekuensi dari berkembangnya beragam agama, baik agama samawi maupun ardli. Dari sisi agama samawi-pun masih juga ada masalah karena kriteria masing-masing agama samawi juga ada perbedaan dalam gradasi antara ibadah mu'amalah dan ibadah ritual. Gradasi yang sangat kuat terletak pada agama Islam, sehingga memunculkan istilah islamisasi ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Ismail Raji' Al Faruqi, Naquib Al Attas dan Kuntowijoyo (ilmu profetik). Dalam hal ini ada pendapat menarik dari seorang Ulama dari Iran menyatakan:

Dalam Al Qur’an Perbandingan antara ayat muamalah (ibadah sosial) dengan ayat berkaitan ibadah ritual (ibadah vertikal dengan Allah) adalah 100 ayat berbanding 1 ayat,

Dalam Hadis dari sekitar 50 pokok bahasannya tidak lebih dari tiga atau empat yang berbicara tentang ibadah ritual, selainnya adalah berkaitan dengan mu’amalah (ibadah sosial)”.

Kesimpulan awalnya bahwa Islam (Qur'an dan Sunnah) adalah agama untuk orang hidup, maka implikasinya Qur'an dan Sunnah mengandung banyak ilmu keduniaan (epistemologi, aksiologi dan lainnya). Coba kita lacak dari Surat Yasin saja, akan muncul ilmu pertanian dan derivasinya (ilmu tanah, ilmu untuk mengawinkan tanaman, ilmu berkaitan dengan air hujan, sampai teknologi pertanian). Surat Yasin ayat 33 - 36, menunjukkan hal tersebut.

Kajian surat Yasin memiliki kandungan ilmu lain- diantaranya zoologi (ilmu binatang), ilmu kelautan beserta turunan ilmunya. Pembahasan ini akan diperluas pada edisi lain.

Persoalannya bagaimana kepedulian lembaga pendidikan Islam mengembangkan ilmu yang berdasarkan pada ilmu dalam Qur'an dan Sunnah? Madrasah Ibtidaiyah Al Islam semestinya bisa memulainya. Tanpa langkah ini maka anak-anak kita akan semakin sekuler. Karena menurut KH. Abdullah Gymnastiar untuk memecahkan persoalan bangsa diperlukan: mulai dari diri sendiri, mulai saat ini juga, dan mulai dari yang kecil. Selamat mencoba mengembangkan ilmu berbasis keislaman.

Kamis, 13 November 2008

MENGEMBANGKAN EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN

Dalam pengembangkan efektifitas pembelajaran perlu diketahui masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa. Secara garis besar, masalah individual dan kelmopok.
Masalah Individual :
1. Attention getting behaviors (pola perilaku mencari perhatian).
2. Power seeking behaviors (pola perilaku menunjukkan kekuatan)
3. Revenge seeking behaviors (pola perilaku menunjukkan balas dendam).
4. Helplessness (peragaan ketidakmampuan).

Masalah Kelompok :
Kelas kurang kohesif, karena alasan jenis kelamin, suku, tingkatan sosial ekonomi, dan sebagainya.
Penyimpangan dari norma-norma perilaku yang telah disepakati sebelumnya.
Kelas mereaksi secara negatif terhadap salah seorang anggotanya.
“Membombong” anggota kelas yang justru melanggar norma kelompok.
Kelompok cenderung mudah dialihkan perhatiannya dari tugas yang tengah digarap.
Semangat kerja rendah atau semacam aksi protes kepada guru, karena menganggap tugas yang diberikan kurang fair. Kelas kurang mampu menyesuakan diri dengan keadaan baru.

Pendekatan yang dipakai dalam menangani masalah di atas adalah:
Behavior - Modification Approach (Behaviorism Apparoach)
Asumsi yang mendasari penggunaan pendekatan ini adalah bahwa perilaku “baik” dan “buruk” individu merupakan hasil belajar. Upaya memodifikasiperilaku dalam mengelola kelas dilakukan melalui pemberian positive reinforcement (untuk membina perilaku positif) dan negative reinforcement(untuk mengurangi perilaku negatif). Kendati demikian, dalam penggunaan reinforcement negatif seyogyanya dilakukan secara hati-hati, karena jika tidak tepat malah hanya akan menimbulkan masalah baru.

Socio-Emotional Climate Approach (Humanistic Approach)
Asumsi yang mendasari penggunaan pendekatan ini adalah bahwa proses belajar mengajar yang baik didasari oleh adanya hubungan interpersonal yang baik antara peserta didik - guru dan atau peserta didik – peserta didik dan guru menduduki posisi penting bagi terbentuknya iklim, sosio-emosional yang baik.

Prinsip – prinsip dalam penerapan pendekatan group proses :
1. mutual expectations;
2. leadership;
3. attraction (pola persahabatan);
4. norm;
5. communication;
6. cohesiveness

Kamis, 06 November 2008

REVITALISASI AL ISLAM DI SEKOLAH MELALUI SOSIALISASI KITAB-KITAB KARYA PENDIRINYA

Banyak orang belum tahu kalau pendiri Al Islam KH. Imam Al Ghazali adalah seorang yang produktif di bidang tulisan, minimal kompilasi Hadis dan Al Qur'an dalam topik-topik penting seputar keislaman. Kitab yang favorit para siswa Al Islam Solo (dulu) diantaranya: Kitab Al Buyu', Kitab Al Islam dan Wal Muslim, dan At Tijjan Fi Syu'ab Al Iman. Kitab tersebut saat ini bisa diyakini kurang populer di kalangan siswa Al Islam terutama di Kartasura. Disinilah perlu revitalisasi kitab-kitab tersebut di sekolah Al Islam Kartasura.
Sistem yang bisa dipakai: sosialisasi kitab tersebut di tingkat pengelola Yayasan, guru-guru dan karyawan dengan cara pengkajian rutin. Dengan begitu komponen utamanya tergarap. Lanjutannya para siswa dibekali kitab At Tijjan Fi Syu'ab Al Iman dengan cara mengkajinya beserta artinya. Selain mengkaji kitab ini secara bertahap siswa kelas 1-6 harus bisa hafal dari Hadis yang tercantum di kitab tersebut.
Ketika semacam inilah, identitas Al Islam terlihat kembali dimana orang yang sekolah Al Islam bisa berdiri di atas dan berada di semua golongan. Semoga.