Kamis, 24 Juni 2010

CITRA MADRASAH

Madrasah menjadi lembaga pendidikan yang diperhitungkan, mungkin tidak semua. Tetapi menurut Stenbrink MI di kota-kota besar tidak ada masalah. Yang masih menjadi masalah adalah MTs dan MA. Berbagai langkah strategis harus ditempuh, untuk memperkuat kedudukan MTs dan MA agar sama dengan MI. Tidak hanya membenahi madrasah dari sisi struktural atau kultural, branding atau pencitraan terhadap madrasah harus digarap secara serius. Di era kompetisi yang makin mengglobal seperti sekarang, mutu yang bagus semata tidak bisa diandalkan. Perlu strategi pencitraan yang jitu kepada masyarakat.

Sejatinya, persoalan mutu madrasah, terutama madrasah swasta (mutu lembaga, guru, dan murid) sudah cukup banyak dikupas. Namun ironisnya, langkah konkret perbaikan mutu madrasah belum terlihat sepenuhnya. Berbagai julukan seperti 'forgotten community', dalam kondisi 'laa yamuut wa laa yahya' (tidak hidup dan juga tidak mati) terhadap madarasah, sampai sekarang belum terhapus.
Memang, perbaikan mutu madrasah tidak semudah membalik telapak tangan atau dengan mantra sim salabim. Perbaikan mutu madrasah harus melihat berbagai sisi. Tidak cukup hanya dari sisi struktural seperti pemberlakuan 'pendidikan satu atap' antara marasah dengan sekolah umum di bawah Departemen Pendidikan Nasional atau dari sisi kultural seperti perbaikan etos kerja guru madrasah saja.
Salah satu sisi yang tidak boleh dilupakan dalam perbaikan mutu madrasah adalah branding madrasah. Branding yang dimaksud di sini adalah upaya pencitraan diri atau lembaga sehingga masyarakat memiliki persepsi seperti yang diharapkan terhadap lembaga tersebut.
Upaya branding terhadap lembaga pendidikan di Indonesia bukanlah hal yang baru. Beberapa tahun ke belakang, saat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia peminatnya mengalami penurunan, maka Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Ditjen Mandikdasmen Depdiknas rela menggelontorkan uang puluhan juta untuk mempromosikan SMK kepada masyarakat.

Jalur media yang digunakan untuk pencitraan SMK ini tidak hanya melalui jalur promosi lini atas (above line) seperti penayangan iklan di televisi dan radio, tapi juga dilakukan melalui lini bawah (below the line) seperti brosur dan leaflet. Demikian pula promosi melalui media luar ruang seperti papan reklame (billboard) tidak dilewatkan.

Data dari Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan menunjukkan, untuk tahun anggaran 2009, dana yang dianggarkan untuk pengadaan promosi dan informasi (Pencitraan SMK) tidak kurang dari delapan belas juta rupiah. Hal ini menunjukkan keseriusan dari SMK untuk senantiasa meningkatkan mutu lembaganya disertai dengan upaya pencitraan lembaganya di tengah-tengah masyarakat.
Fenomena pencitraan lembaga pendidikan lain yang bisa kita saksikan adalah dari berbagai lembaga pendidikan swasta yang cukup mapan dan memiliki sokongan dana yang kuat. Media yang banyak dimanfaatkan untuk promosinya di antaranya televisi, radio, internet, billboard, sampai Jembatan Penyeberangan Orang (JPO).

Tidak ada komentar: