Minggu, 28 Agustus 2011

SEGENAP PENGELOLA BLOG INI MENGUCAPKAN:

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITHRI 1432 HIJRIYAH

MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN

KULLU 'AAMIN BIKHAIRIN. AMIIN.

Kamis, 24 Juni 2010

PEMANFAATAN HASIL-HASIL PENELITIAN UNTUK PENGEMBANGAN MADRASAH

Diyakini bahwa banyak sekolah/madrasah diteliti oleh mahasiswa baik strata 1, strata 2, strata 3 dan penelitian jenis lainnya. Hasil penelitian semestinya disampaikan ke sekolah/madrasah sebagai tempat penelitian. Penyampaian hasil penelitian harus dipahami oleh kedua pihak untuk pengembangan sekolah/madrasah. Minimal bisa megnetahui strength (kekuatan), dan kelemahan (weakness). Dua sisi penting ini bisa diketahui peluang dan tantangan madrasah/sekolah.

TEtapi sayangnya, banyak sekolah tidak memanfaatkan hasil penelitian. Akhirnya hanya memenuhi rak-rak perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi. Kenapa ini tidka dimanfaatkan? Kemungkinannya banyak sekola/madrasah takut ketahuan "boroknya". Manfaatkan hasil penelitian itu untuk pengembangan madrasah, seperti yang disampaiakn dalam buku-buku Strategic Management.

MEMPERLUAS KONSUMEN MADRASAH IBTIDAIYAH

Pendahuluan

fenomena bahwa pendidikan atau sekolah itu sudah terkotak- kotak di Indonesia dan dimana-mana di atas dunia ini. Untuk Indonesia ada sekolah agama dan ada sekolah umum, orang yang taat menyebutnya dengan sekolah sekuler. Ada sekolah swasta dan ada sekolah negeri. Kemudian secara vertikal ada Sekolah Dasar (SD), SMP, STLA dan perguruan tinggi. Untuk tingkat SLTA ada namanya SMA, MA dan SMK.
SMA jumlah sangat banyak dan terlihat serba diperhatikan alias dianak emaskan oleh masyarakat, pemerintah dan malah juga oleh media massa. Event- event yang ada di SMA dikupas tuntas dan disebarluaskan, kemudian berita- berita tentang MAN dan SMK porsi nya tidak berimbang dibandingkan SMA. Secara konvensional orang mengatakan bahwa anak- anak yang belajar pada MAN kelak bisa menjadi anak surga (baca: generasi yang taat) dan dulu ketika STM belum lagi dikenal dengan sebutan SMK, dikenalkan sebagai sekolah yang murid- muridnya suka berkelahi massal atau tawuran.
Pemerintah tampaknya menjadikan SMA sebagai “anak emas” dan agar lulusannya bisa berkualitas maka pemerintah (dan juga tokoh politik di DPR) menyelenggarakan berbagai kegiatan dan program yang jauh lebih intensive dan sampai mematok standar kelulusan SMA. Karena hanya dari SMA lah kelak lahir dan bermunculan pemimpin bangsa, tokoh intelektual dan orang- orang hebat. Kemudian mengapa kualitas SMK dan MAN tidak begitu banyak disorot, digubris, dicikaraui apakah tak mungkin akan lahir pemimpin bangsa dan orang orang hebat dari kedua institusi pendidikan ini (?).
Dunia pendidikan atau dunia sekolah itu ibarat anak kecil, itu karena di sana merupakan tempat kedua terjadinya proses sosialisasi bagi anak-anak (anak didik) setelah rumah mereka. Anak- anak yang memperoleh cukup perhatian, banyak pengalaman dan kaya rangsangan atau stimulus secara kognitif, psikomotorik dan afektif akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. sementara anak yang merasa kurang diperhatikan dan kurang pula dalam memperoleh stimulus dan kesempatan untuk bereksperimen, cenderung mempunyai karakter “withdrawal” atau suka menarik diri, mengalami perasaan inferior complex atau rendah diri.
Masyarakat dan pemerintah adalah ibarat orang tua bagi dunia pendidikan. Sebut saja anak mereka yang berusia remaja bernama “SMK, MAN dan SMA’. Dewasa ini perhatian pemerintah menurut kacamata orang awam, perhatian mereka terhadap pendidikan siswa SMA sungguh banyak porsinya. Bila ada prestasi yang diukir oleh siswa SMA maka publikasinya terasa sangat menggema sampai ke mana- mana sementara publikasi tentang kegiatan yang ada pada SMK dan Man cenderung sepi atau biasa- biasa saja.
Anggaplah pemerintah cukup bersikap adil (dan memang pemerintah sudah adil dalam memberikan kebijakan terhadap pendidikan di SMA, SMA dan SMK), namun sekarang tinggal lagi perlakuan masyarakat (?).
Adalah fenomena dalam masyarakat, bahwa SMA adalah sekolah bagi anak- anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masukan anak ke MAN agar ia bisa menjadi orang taat dan SMA adalah sekolah sekuler. Kemudian pilihlah SMK kalau orangtua tidak mampu secara finansial, dan biar lah anak belajar di sana agar kelak cepat memperoleh kerja – menjadi pekerja, menjadi buruh atau menjadi TKI (?).
Dalam setting pada mulanya, keberadaan SMA, SMK dan MAN adalah sama dan cukup bagus. Namun dalam pelaksanaan dalam masyarakat terlihat kecendrungan bahwa kalau orang tua punya anak yang cerdas atau ingin punya anak cerdas maka mereka harus mengirim (dan mencarikan SMA) yang berbobot untuk mendidik mereka, agar kelak bisa tumbuh jadi orang terpandang. Apa saja persyaratan yang diminta oleh komite sekolah (di SMA) terhadap orang tua, maka hampir seratus persen akan dipenuhi. Sementara itu bila anak kalah dalam seleksi otak, atau anak orang tuanya kalah seleksi secara finansial atau keuangan maka mereka diultimatum, direkomendasikan atau sangat dianjurkan agar memilih SMK saja. Maka jadilah SMK ini sebagai tempat bersekolahnya anak- anak dengan mental inferior complex, berasal dari orang tua dengan ekonomi lemah dan anak- anak yang kualitas otaknya kurang beruntung.
Adalah fenomena umum bahwa kualitas pendidikan sekolah agama itu dipandang lebih rendah dari sekolah umum. Citra ini diciptakan sendiri oleh anak didik dan masyarakat. Tengoklah eksistensi ini pada banyak sekolah. Anak- anak pintar yang belajar di sana semuanya bermimpi agar bisa kuliah kelak pada universitas favorite yang berada di pulau Jawa atau kalau perlu langsung di universitas luar negeri. Kalau gagal maka tahun depan (atau sudah pasang ancang- ancang) untuk memilih universitas ngetop di provinsi mereka. Bila gagal atau merasa kemampuan otak lemah maka dengan rasa enteng mereka memilih perguruan tinggi Islam, dan pada akhirnya berkumpulah orang orang yang kultur dan percaya diri nya rendah belajar di perguruan tinggi ini.
Kemudian juga menjadi fenomena bahwa dalam rekruitmen tenaga pendidik, maka orang yang merasa pintar cenderung memilih sebagai guru SMA, kemudian sisanya bagi yang merasa diri bersahaja atau takut kalah dalam persaingan , mereka memilih untuk menjadi tenaga pengajar pada MAN.
Dalam fakta bahwa cukup banyak guru berkualitas dan bermutu yang hadir sebagai tenaga pendidik di MAN dan SMK. Namun kenapa kedua sekolah ini tidak menggeliat dalam hal mutu secara umum(?). keberadaan tenaga pendidik agaknya tidak lah menjadi masalah karena mereka bersal dari perguruan tinggi yang sama dengan rekan- rekan mereka di SMA. Yang menjadi masalah adalah sikap anak didik yang belajar di sana, sebagai produk sosialisasi dari rumah mereka, yang terbentuk dari lingkungan rumah untuk menjadi orang yang serba bersahaja, sikap fatalistic atau pasrah dan ini adalah menjadi tugas bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyembuhkan gejala inferior complex mereka.
Kalau sekolah MAN dan SMK merasa sebagai sekolah kelas dua, gara- gara citra yang telah dibentuk oleh masyarakat, pemerintah, aktor politik dan pemberitaan media massa . Maka untuk mengembalikan harga diri atau citra mereka, tentu menjadi tanggung jawab masyarakat, pemerintah, aktor politik dan media massa pula.
Masyarakat tentu perlu juga untuk memberikan perhatian dan partisipasi dalam membesarkan dan menumbuhkan harga diri kedua sekolah ini. Adalah juga tepat bila orang tua memiliki anak cerdas dan super cerdas menyuruh mereka untuk belajar di sini dan kemudian ikut mendukung program pengembangan mutu pendidikan. Pemerintah dan aktor politik juga harus adil. Bila mereka berdebat tentang kualitas pendidikan di SMA- seperti membahas angka kelulusan SMA, maka coba pulalah untuk berdebat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah MAN dan SMK. Kemudian media masa juga harus berimbang dalam pemberitaan, janganlah hanya rajin mencari berita yang serba bagus ke SMA, tapi ia juga perlu bekerja intensive untuk meliput pendidikan pada MAN dan SMK. Media Massa hanya rajin meliput .Pendidikan MAN (agama) seputar bulan puasa Cuma.
Namun sebagai orang yang mau dewasa, maka Man dan SMK juga tidak boleh menyalahkan pihak lain- masyarakat, pemerintah, aktor politik dan orang tua atau masyarakat sebagai sumber masalah, menjadikan kedua sekolah ini sebagai sekolah kelas dua. Dalam pelajaran agama kita diberitahu bahwa “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (nasib kita), kecuali kita sendiri yang mengubah nasib ini”. Maka MAN dan SMK bisa dan harus menjadi sekolah kelas satu (first class), usahanya harus dilakukan oleh segenap personalia di sekolah ini- guru, murid, orang tua dan lingkungan.
Sekolah ini perlu melakukan publikasi , melakukan lomba yang eventnya dikemas seapik mungkin dan dipublikasikan. Untuk SMA biasanya ada lomba English speech contest, maka siswa MAN juga harus menggelar Arabic Speech contest, dan setting suasana menjadi moderen. SMK mungkin bisa melakukan robot creative contest. Atau perlombaan kreativitas lain. Kemudian kedua sekolah ini coba menumbuhkan prilaku yang smart (walau cukup banyak prilaku yang sama terjadi pada beberapa SMA), mengembangkan sikap intelektual, sikap kritis, menjauhi sikap kekanak- kanakan. Mengembangakan program kepintaran berganda anatara IQ, SQ dan EQ. pintar dengan angka- angka, pintar olah raga, pintar berpidato, pintar mengelola waktu, menguasai bahasa asing, komputer dan internet dan mantap nilai keimanan. Pendek kata berimbang anatara IPTEK dan IMTAQ (ilmu pengetahuan dan tekhnologi- serta iman dan taqwa).

Pemasaran Madrasah Membangun Citra

Istilah 'pemasaran madrasah' mungkin terasa asing di telinga para pengelola madrasah karena dalam istilah itu terkesan adanya anggapan bahwa madrasah adalah usaha bisnis dagang. Kesan ini tentu saja bertentangan dengan 'pernyataan' para pengelola kebanyakan madrasah (dan anggapan masyarakat pada umumnya) bahwa madrasah adalah suatu usaha amal sosial. Tetapi, sebenarnya sudah banyak istilah dan konsep bisnis yang telah masuk dan diterapkan ke dunia pendidikan (seperti, misalnya, 'manajemen', 'supervisi', cost-benefit analysis, dlsb.).


Pendidikan Sebagai Usaha Penawaran Jasa


Dalam buku-buku pengantar teori ekonomi sering disebutkan bahwa ada dua hal yang diperjua-belikan: barang dan jasa (goods and services). Usaha pendidikan yang dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan dapat dikategorikan sebagai usaha penawaran (penjualan) jasa (service industry) seperti halnya usaha pelayanan telepon, hotel, pariwisata, pelayanan dokter, rumah sakit, bank, dsb. Ciri khas jasa yang diperjual-belikan, antara lain, adalah jasa tidak berujud, tidak tahan lama (tidak dapat disimpan). Dalam hal usaha pendidikan, yang diperjual-belikan adalah jasa layanan pendidikan.

Ini mungkin kedengarannya menyakitkan telinga, tetapi semua unsur usaha bisnis (dagang) ada di situ. Usaha pendidikan juga memerlukan modal awal (tanah, sumber daya manusia, uang untuk dana operasional). Modal itu kemudian diramu dan dikelala (manajemen) sehingga menjadi produk yang siap untuk ditawarkan kepada konsumen, yaitu layanan pendidikan tingkat SD, SLTP, SLTA, atau kursus bahasa Inggris. Konsumennya adalah masyarakat yang menggunakan jasa layanan pendidikan itu (siswa atau orang tuanya). Untuk itu mereka harus mengeluarkan uang (uang gedung atau SPP). Agar calon konsumen itu mau menggunakan jasa layanan pendidikan kita, mereka perlu dibangkitkan minatnya terhadap jasa yang kita tawarkan.

Yang mungkin agak menyejukkan adalah bahwa, walaupun sama-sama usaha bisnis, usaha pendidikan berbeda dari usaha dagang biasa. Perbedaannya terletak pada orientasinya. Usaha dagang biasa lebih berorientasi pada keuntungan (laba atau profit) sedang usaha pendidikan tidak. Oleh karena itu, di beberapa negara, usaha pendidikan (dan usaha sosial lainnya) dimasukkan ke dalam kategori lembaga usaha yang tak berorientasi pada keuntungan (non-profit organization), walaupun ada juga lembaga pendidikan yang, secara sadar atau tidak, lebih berorientasi pada keuntungan daripada layanan masyarakat (public service).

Makalah ini ingin mengajak peserta seminar ini untuk melihat madrasah dari perspektif yang berbeda dari perspektif yang selama ini umumnya kita gunakan. Tujuannya adalah melihat kemungkinan alternatif pemecahan dari persoalan yang selama ini dihadapi oleh kebanyakan madrasah. Mungkin dari sudut pandang yang lain itu akan tampak kemungkinan alternatif pemecahan yang dari sudut pandang biasa tidak kelihatan.

Dana Sebagai Kendala Utama Perkembangan Suatu Madrasah


Persoalan yang dihadapi oleh madrasah sebenarnya banyak, tergantung dari keadaan madrasah itu sendiri. Umumnya, yang dikeluhkan adalah kalahnya madrasah dalam bersaing dengan sekolah umum untuk memperebutkan calon siswa berprestasi. Siswa berprestasi umumnya lebih memilih sekolah umum daripada madrasah karena mereka beranggapan bahwa sekolah umum lebih menjanjikan harapan bahwa prestasi mereka akan lebih baik di sana. Madrasah dianggap kalah mutunya jika dibandingkan dengan sekolah umum. Siswa madrasah juga sering merasa rendah diri jika berhadapan dengan siswa sekolah umum yang setara dengan sekolahnya.

Kambing hitam untuk kurang-mutunya madrasah ini bermacam-macam namun ujung-ujungnya adalah 'duit' (dana). Kurangnya dana dianggap menyebabkan madrasah tidak dapat memberikan fasilitas yang lebih baik, mengirim guru ke penataran PBM, memberi gaji yang lebih baik kepada guru, dsb. Penyebab kurangnya dana operasional ini, terutama di madrasah swasta, antara lain, disebutkan, karena sumber utama dana mereka, yaitu orang tua, berasal dari golongan ekonomi lemah. Sementara itu, sumber dana insidentil yang diharapkan datang dari anggota masyarakat juga tidak lancar.

Dus, kunci utama untuk memantapkan kelancaran dana operasional ini adalah apabila kita dapat menarik minat masyarakat golongan menengah untuk bersekolah atau menyekolahkan anaknya ke madrasah kita. Susahnya, masyarakat golongan menengah ke atas ini, karena kemampuannya untuk membayar lebih, biasanya mempunyai selera tinggi. Mereka hanya mau bersekolah (menyekolahkan anaknya) ke sekolah yang lebih bermutu atau lebih bergengsi. Madrasah, yang sering dianggap kalah mutu atau kalah gengsi dengan sekolah umum, sering tidak dipandang sebelah mata. Di sinilah, saya kira, perlunya madrasah menetapkan strategi pemasaran untuk menarik minat calon konsumen yang diharapkan itu.



Fungsi Pemasaran Dalam Pendidikan


Fungsi pemasaran (marketing) dalam dunia pendidikan adalah untuk menciptakan citra baik terhadap madrasah sebagai lembaga pendidikan. Tujuannya adalah menarik minat anggota masyarakat untuk menggunakan jasa layanan pendidikan yang diberikan oleh madrasah itu. Cara untuk menciptakan citra ini bermacam-macam, tergantung pada anggota masyarakat yang dituju. Apabila calon konsumen yang kita tuju adalah masyarakat golongan ekonomi lemah, maka kita harus menciptakan citra bahwa madrasah kita itu tidak mahal. Apabila calon konsumen yang dituju adalah golongan ekonomi menengah ke atas yang berani membayar lebih untuk kualitas layanan yang lebih baik, maka citra yang harus kita ciptakan adalah bahwa madrasah kita memberikan layanan yang lebih bagus daripada sekolah lain, walaupun untuk itu mereka harus membayar lebih mahal sedikit. Penetapan danem agak tinggi juga sering dimaksudkan untuk menciptakan citra bahwa madrasah yang bersangkutan bersikap selektif dan lebih mementingkan prestasi daripada kemampuan membayar.

Untuk menetapkan strategi pemasaran yang tepat itu fihak madrasah perlu melakukan semacam riset pemasaran. Riset pemasaran adalah suatu riset yang ditujukan untuk mengumpulkan data yang akan digunakan oleh pimpinan untuk merumuskan kebijakan pemasaran dan rencana usaha (Converse, Huegy, and Mitchell, 1958). Dalam hal madrasah ini, riset pemasaran itu dapat dilakukan, pertama, dengan menetapkan siapa yang menjadi sasaran pemasaran (calon konsumennya). Kemudian kelompok konsumen yang dituju itu diteliti mengenai aspirasi pendidikannya, kemampuan membayar layanan pendidikan yang diinginkan, dsb. Tergantung situasinya, ini dapat dilakukan secara formal dan memakan dana yang cukup besar atau secara informal dengan dana yang sedikit.

Dengan mengetahui apa yang diinginkan masyarakat sasaran dalam hal pendidikan serta berapa kemampuan membayar mereka untuk pendidikan itu, maka pimpinan madrasah (yayasan) dapat menentukan strategi pemasaran yang tepat guna menarik minat mereka.

Daya tarik madrasah yang terutama, menurut saya, adalah pendidikan keagamaan. Karena tertarik akan pendidikan keagamaan inilah, menurut saya, banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya ke madrasah, walaupun mereka tahu bahwa mutu pendidikan umumnya kalah dengan pendidikan umum yang diberikan di sekolah umum. Biasanya, orang tua seperti ini berasal dari kalangan santri tradisional, yang lebih mementingkan pengetahuan agama daripada pengetahuan umum. Namun, perkembangan zaman yang semakin didominasi oleh kebutuhan ekonomi konsumtif telah membuat orang tua semacam ini menjadi sangat kurang. Bahkan, anak kiai pun kini lebih banyak yang bersekolah di sekolah umum daripada di madrasah (Mungkin karena mereka beranggapan bahwa anak mereka sudah mendapat pendidikan agama di rumah sehingga mereka cukup mencari pengetahuan umum saja di sekolah). Dari segi teori ekonomi, inilah keunggulan komparatif madrasah atas sekolah umum dan tampaknya sekolah umum tidak ingin menyaingi madrasah dalam hal ini. Madrasah perlu mempertahankan keunggulan komparatif ini dengan memberikan mutu layanan pendidikan keagamaan yang baik.

Namun, seperti telah dikemukakan di atas, penddidikan agama saja kini mulai dikalahkan oleh keinginan mendapatkan pendidikan umum yang bermutu. Oleh karena itu, kalau madrasah ingin menarik minat kelompok masyarakat ini, maka ia pun harus dapat menawarkan kualitas pendidikan umum yang bersaing. Kurikulum '94 yang menetapkan bahwa kurikulum mata pelajaran umum di madrasah kini seratus persen sama (dalam materi dan jumlah jam) dengan kurikulum sekolah umum mungkin dapat mengejar ketertinggalan madrasah dalam mutu pelajaran umum dari sekolah umum.

Peningkatan mutu pelajaran umum di madrasah ini makin penting mengingat siswa yang masuk ke madrasah itu dapat dianggap sebagai asset ummat. Mereka yang masuk ke madrasah dapat dianggap sebagai memiliki motivasi keagamaan yang kuat. Kalau orang seperti ini menjadi pemimpin bangsa kelak pasti masa depan negara ini akan makin baik. Akan sayang sekali kalau anak-anak seperti itu, setelah dewasa, tidak bisa menjadi pemimpin bangsa karena kualitas pendidikan umumnya kalah bersaing dengan mereka yang belajar di sekolah umum.

Beberapa Variabel Yang Menimbulkan Citra


Berikut ini adalah beberapa variabel yang mempunyai peranan dalam menimbulkan citra yang baik bagi madrasah:

  1. Gedung. Gedung yang rapi, indah, dan memiliki fasilitas belajar yang memadai menimbulkan kesan bahwa madrasah yang bersangkutan adalah bonafid dan menjanjikan layanan pendidikan yang bermutu. Sebaliknya, gedung yang kurang terawat akan memberikan citra madrasah yang kurang terurus, tidak meyakinkan.
  2. Guru. Guru yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi dan sesuai dengan bidang yang diajarkan akan memberikan kesan bahwa mutu layanan pendidikan di madrasah tersebut bagus. Sebaliknya, guru-guru yang kebanyakan bukan lulusan perguruan tinggi atau yang ijazah pendidikannya kurang sesuai dengan bidang yang diajarkan akan memberikan kesan 'guru cakupan' di madrasah tersebut.
  3. Prestasi siswa dalam Ebtanas. Adanya beberapa siswa yang berprestasi bagus dalam Ebtanas akan mengangkat citra madrasah yang bersangkutan sebagai lembaga pendidikan yang bermutu. Citra itu akan lebih baik lagi kalau prestasi siswa itu dicapai dalam mata pelajaran umum, bukan pada mata pelajaran agama yang memang merupakan spesialisasi madrasah.
  4. Kegiatan Olah Raga dan Kesenian. Adanya prestasi madrasah di bidang olah raga (misalnya pernah menjuarai kejuaraan tingkat kecamatan, kabupaten/kotamadya, atau propinsi), sedikit banyak, akan meningkatkan perhatian dan minat masyarakat terhadap madrasah tersebut.
  5. Mutu Pendidikan Keagamaan. Walaupun ini sudah menjadi spesialisasi madrasah sehingga kalau madrasah unggul di bidang ini sudah tidak lagi menjadi sesuatu hal yang luar biasa, kemenonjolan di bidang ini tetap merupakan daya tarik utama bagi masyarakat untuk memilih madrasah tersebut sebagai tempat pendidikannya (untuk anaknya).


Perlunya Komunikasi Dengan Masyarakat


Setelah berbagai usaha untuk meningkatkan citra madrasah itu diupayakan, usaha-usaha tersebut perlu dikomunikasikan kepada masyarakat, terutama kelompok yang menjadi sasaran pemasaran. Banyak madrasah yang walau sudah berusaha meningkatkan fasilitas, kualitas guru, efektivitas kurikulum, serta mutu pendidikannya secara umum, tetap kurang dapat menarik minat masyarakat karena masyarakat tersebut tidak diberi tahu tentang usaha-usaha yang telah dilakukan oleh madrasah tersebut beserta hasil-hasil yang dicapai oleh usaha tersebut. 'Tak kenal maka tak sayang', kata pepatah.

Usaha untuk mengkomunikasikan usaha peningkatan mutu dan keberhasilan madrasah di bidang pendidikan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Untuk masyarakat sasaran tingkat lokal, itu dapat dilakukan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang menyebabkan masyarakat setempat tertarik untuk datang ke madrasah tersebut. Pameran, kegiatan olah raga dan kesenian yang melibatkan masyarakat setempat, kunjungan orang tua dan calon siswa ke sekolah (open day), keikut sertaan dalam pawai dan karnaval di kota sendiri, semuanya merupakan sarana untuk memperkenalkan madrasah itu ke masyarakat dan mengkomunikasikan prestasi madrasah. Untuk masyarakat sasaran yang lebih jauh tempatnya, komunikasi ini dapat dilakukan lewat brosur, tanggalan, cinderamata, majalah siswa madrasah, newsletter, atau surat kabar umum (lewat pemuatan berita kegiatan madrasah).

Penyebaran informasi tentang prestasi madrasah secara luas ini juga penting bila madrasah yang bersangkutan ingin menarik minat calon penyumbang dana bagi pengembangan madrasah tersebut. Lembaga pendidikan Islam mempunyai peluang lebih banyak dibanding lembaga pendidikan dari agama lain untuk mendapatkan sumbangan dari pemeluk agamanya karena adanya konsep 'amal jariyah' yang tak akan putus sampai hari kiamat dalam ajaran agama Islam. Konsep ini telah menggerakkan hati banyak orang Islam untuk memberikan sumbangan kepada pembangunan gedung sekolah, rumah yatim, ataupun masjid. Orang-orang Muslim yang berharta itu perlu didekati dengan tepat agar mereka tertarik untuk menyumbangkan uangnya guna kepentingan madrasah kita. Permintaan sumbangan yang berhasil adalah permintaan sumbangan yang dapat membuat orang yang bersangkutan tidak merasa berat melepaskan uangnya (karena jumlahnya relatif kecil menurut ukuran penghasilannya), dapat melihat keuntungan yang akan diperolehnya (baik di akhirat ataupun di dunia ini), dan tahu bagaimana uangnya itu digunakan. Penempelan nama penyumbang pada buku sumbangan, pada barang atau gedung yang disumbangkan, akan merupakan daya tarik tersendiri bagi penyumbang.

PENGEMBANGAN IMAGE MADRASAH

Image masyarakat terhadap Madrasah sering diidentikkan dengan lembaga pendidikan second class, tidak maju, kumuh, dan citra negative lain masih sering nempel di madrasah. Citra madrasah seperti itu harus kita rubah melalui unjuk prestasi dan unjuk bukti. Untuk mewujudkan madrasah yang berprestasi perlu langkah-langkah strategis yang harus dikembangkan oleh madrasah. Pengembangan madrasah harus efektif, sehingga ada akselerasi peningkatan kualitas madrasah.

Langkah-langkah yang harus diperhatikan oleh insan madrasah untuk mengantarkan madrasah yang efektif adalah madrasah harus mempunyai visi dan misi yang jelas, kepala madarasah yang professional, guru yang professional, lingkungan yang kondusif, ramah siswa, manajemen yang kuat, kurikulum yang luas tapi seimbang, penilaian dan pelaporan prestasi siswa yang bermakna, serta pelibatan orang tua/masyarakat.

Visi dan misi yang jelas

Dalam merumuskan visi dan misi madrasah harus memuat gambaran masa depan yang diinginkan oleh Madrasah, pandangan jauh ke depan ke mana Madrasah akan dibawa, wawasan yang menjadi sumber arahan bagi Madrasah, imajinasi moral yang menggambarkan profil Madrasah yang diinginkan di masa datang , harapan tinggi dari siswa dan guru, dorongan kepada siswa untuk belajar, bekerja, berbuat dan mengeluarkan kemampuan terbaik, dan mengarahkan pengembangan intelektual, sosial, emosional dan fisik siswa secara maksimal.

Kepala Madrasah Profesional

Maju tidaknya sebuah lembaga pendidikan, masih tergantung pada pimpinannya. Maju dan tidaknya madrasah juga masih sangat tergantung pada bagaimana kepala madrasah untuk memenejnya . Hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai syarat kepala madrasah adalah (1). Memiliki kualifikasi memadai, kompeten, berpengalaman, (2). Memimpin secara efektif dan menjalankan visi misi untuk membina & memajukan masyarakat Madrasah ,(3). Berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan mutu Madrasah,(4). Mengelola sumber & bahan dengan bijaksana, (5). Mampu bekerja sama dengan guru dan siswa,(6). Mampu bekerja sama dengan orang tua, komite, masyarakat dan badan terkait lainnya, (7). Meningkatkan moral staf Madrasah ,serta (8). Meningkatkan belajar berkesinambungan dan melakukan pengembangan diri.

Guru Profesional

Guru adalah ujung tombak terdepan untuk mengantarkan dan melayani siswa untuk berprestasi. Syarat yang harus dipenuhi sebagai guru yang professional antara lain adalah (1). Kualifikasi memadai dan kompeten , (2). Mempunyai sikap positif dan moral yang tinggi, (3). Mendorong siswa untuk mencapai prestasi tinggi, (4). Mengembangkan keterampilan berfikir kritis pemecahan masalah, dan kreatifitas siswa, (5). Peka terhadap kebutuhan siswa, (6). Menegakkan disiplin, (7). Mengundang partisipasi orang tua, (8). Melakukan belajar kerkesinambungan dan pengembangan profesi, (9). Mempunyai keterampilan yang luas termasuk keterampilan dalam mata pelajaran, (10). Dapat bekerja sama dan bekerja sebagai anggota tim

Lingkungan yang kondusif

Lingkungan madrasah harus ditata sedemikian hingga siswa menjadi betah berada di sekolah. Lingkungan tersebut adalahlingkungan yang dapat menstimulasi siswa untuk betah belajar dan beraktivitas, Bersih, aman, nyaman dan hangat/ramah. Selain itu sekolah merupakan tempat bagi semua orang untuk saling memperhatikan dan saling mendukung melalui hubungan yang positif. Sekolah juga bisa dijadikan untuk mempromosikan rasa saling memiliki dan kebanggaan terhadap Madrasah. Dan juga memberikan kesempatan bagi siswa untuk berpartisipasi dalam organisasi intra Madrasah, mempunyai aturan-aturan yang sensible, yang jelas dan dapat diterapkan/dilaksanakan. Serta mendukung kebijakan pengelolaan perilaku yang efektif yang ditopang oleh sistem pelayanan siswa yang efektif

Ramah Siswa

Mendukung pengembangan potensi & kemampuan siswa secara maksimal, Menangani kesulitan yang dialami siswa secara efektif dan efisien, Peka terhadap kebutuhan dan latar belakang individual siswa, Berhubungan dengan community support service and resources yang tersedia di luar Madrasah.

Manajemen yang Kuat

Memberdayakan potensi dan sumber Madrasah secara efektif , Mengembangkan program dan refleksi dengan warga Madrasah secara efektif , Mendasarkan pada perencanaan, pengembangan program, refleksi diri dan pengambilan keputusan secara kolaboratif, Mendukung supervisi staf dan pengembangan profesi, Luwes dalam mengorganisasi pembelajaran siswa dengan cara yang bervariasi.

Kurikulum yang Luas tapi Seimbang

Memberikan berbagai pembelajaran yang aktif, efektif dan menyenangkan untuk semua mata pelajaran, Memonitor aspek prestasi akademik, sosial, kepribadian, dan perkembangan fisik siswa, Memastikan bahwa siswa mengembangkan sikap yang positif terhadap belajar, Membantu siswa mengembangkan kecakapan hidup seperti percaya diri, memotivasi diri dan mengembangkan disiplin diri.

Penilaian dan Pelaporan Prestasi Siswa yang Bermakna

Memberi informasi akurat dan jelas tentang prestasi belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran dan perkembangan kemampuan sosial siswa, Mengarahkan guru untuk menggunakan berbagai pendekatan mengajar yang paling sesuai, Mengidentifikasi masalah belajar siswa dan cara menyelesaikannya bersama-sama dengan orang tua, Mengijinkan orang tua untuk mengobservasi dan memahami kemajuan belajar siswa, Melakukan berbagai cara untuk mendukung pembelajaran efektif dan upaya meningkatkan rasa percaya diri siswa.

Pelibatan Masyarakat

Mendorong orang tua untuk berkunjung dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan Madrasah, Menekankan pentingnya kemitraan antara orang tua dan guru untuk memperoleh hasil pembelajaran yang lebih baik, Madrasah dan guru tanggap terhadap pertanyaan, sudut pandang, kekhawatiran orang tua, Madrasah membentuk jaringan kerja yang luas dengan mayarakat, termasuk dengan Madrasah lain, dunia usaha/bisnis, LSM, atau organisasi pemerintahan yang lainnya.

Penutup/Kesimpulan


Makalah ini telah mencoba melihat madrasah sebagai usaha penawaran jasa layanan pendidikan yang juga memerlukan dana dari masyarakat guna memenuhi missinya mencerdaskan bangsa dan menyebarkan ajaran agama Islam. Walaupun tidak berorientasi pada keuntungan, melihat madrasah sebagai suatu usaha bisnis yang perlu diusahakan untuk mendatangkan uang bagi pengembangan madrasah selanjutnya akan menempatkan pemasaran dan promosi pada fungsi yang tepat. Strategi pemasaran yang tepat akan dapat meningkatkan minat calon konsumen. Meningkatnya minat calon konsumen ini diharapkan akan meningkatkan jumlah siswa yang mendaftar ke madrasah tersebut. Banyaknya siswa yang mendaftar akan memungkinkan madrasah untuk melakukan seleksi dengan hanya memilih calon siswa yang mempunyai potensi untuk berhasil.

Dalam makalah ini ditegaskan bahwa strategi pemasaran madrasah yang tepat adalah dengan memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan jasa pendidikan yang berkualitas. Peningkatan kualitas ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan beberapa variabel yang ikut menentukan kualitas madrasah itu: gedung, guru, prestasi lulusan, kualitas pendidikan agama, dan kegiatan olah raga dan kesenian. Penciptaan prestasi-prestasi yang menonjol dalam Ebtanas maupun di bidang olah raga dan kesenian perlu diusahakan sehingga terbentuk citra di masyarakat bahwa madrasah tersebut berkualitas.

Yang tak kalah pentingnya adalah mengkomunikasikan prestasi dan usaha peningkatan mutu yang dilakaukan oleh madrasah kepada masyarakat konsumen. Tak ada gunanya suatu prestasi atau usaha perbaikan apabila tidak diketahui oleh masyarakat pengguna jasa pendidikan madrasah. Banyak cara untuk mengkomunikasikan keberhasilan dan usaha ini, tergantung pada lokasi dan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pemasaran.

Akhirnya, harus diakui bahwa gagasan yang dikemukakan dalam makalah ini barulah merupakan gagasan awal yang perlu dicoba penerapannya di lapangan. Kalau pelemparan gagasan ini dapat membuat para peserta seminar ini tergerak untuk melihat persoalan madrasah dari berbagai perspektif baru sehingga memungkinkan untuk melihat alternatif pemecahan yang baru, maka tujuan penulisan makalah ini saya anggap sudah tercapai.


BAHAN BACAAN

Alma, Buchori. 1992. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Bandung: Alfabeta.

Converse, Paul D.; Huegy, Harvey W.; and Mitchell, Robert V. Elements of Marketing. 1958. Englewoods Cliffs. NY: Prentice Hall.

Enis, Ben M. 1974. Marketing Principles. California: Goodyear Publ. Coy, Inc.

Kotler, Phillip and Cox, Keith. 1984. Marketing Management and Strategy. Englewoods Cliffs, NY: Prentice Hall, Inc.

CITRA MADRASAH

Madrasah menjadi lembaga pendidikan yang diperhitungkan, mungkin tidak semua. Tetapi menurut Stenbrink MI di kota-kota besar tidak ada masalah. Yang masih menjadi masalah adalah MTs dan MA. Berbagai langkah strategis harus ditempuh, untuk memperkuat kedudukan MTs dan MA agar sama dengan MI. Tidak hanya membenahi madrasah dari sisi struktural atau kultural, branding atau pencitraan terhadap madrasah harus digarap secara serius. Di era kompetisi yang makin mengglobal seperti sekarang, mutu yang bagus semata tidak bisa diandalkan. Perlu strategi pencitraan yang jitu kepada masyarakat.

Sejatinya, persoalan mutu madrasah, terutama madrasah swasta (mutu lembaga, guru, dan murid) sudah cukup banyak dikupas. Namun ironisnya, langkah konkret perbaikan mutu madrasah belum terlihat sepenuhnya. Berbagai julukan seperti 'forgotten community', dalam kondisi 'laa yamuut wa laa yahya' (tidak hidup dan juga tidak mati) terhadap madarasah, sampai sekarang belum terhapus.
Memang, perbaikan mutu madrasah tidak semudah membalik telapak tangan atau dengan mantra sim salabim. Perbaikan mutu madrasah harus melihat berbagai sisi. Tidak cukup hanya dari sisi struktural seperti pemberlakuan 'pendidikan satu atap' antara marasah dengan sekolah umum di bawah Departemen Pendidikan Nasional atau dari sisi kultural seperti perbaikan etos kerja guru madrasah saja.
Salah satu sisi yang tidak boleh dilupakan dalam perbaikan mutu madrasah adalah branding madrasah. Branding yang dimaksud di sini adalah upaya pencitraan diri atau lembaga sehingga masyarakat memiliki persepsi seperti yang diharapkan terhadap lembaga tersebut.
Upaya branding terhadap lembaga pendidikan di Indonesia bukanlah hal yang baru. Beberapa tahun ke belakang, saat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia peminatnya mengalami penurunan, maka Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Ditjen Mandikdasmen Depdiknas rela menggelontorkan uang puluhan juta untuk mempromosikan SMK kepada masyarakat.

Jalur media yang digunakan untuk pencitraan SMK ini tidak hanya melalui jalur promosi lini atas (above line) seperti penayangan iklan di televisi dan radio, tapi juga dilakukan melalui lini bawah (below the line) seperti brosur dan leaflet. Demikian pula promosi melalui media luar ruang seperti papan reklame (billboard) tidak dilewatkan.

Data dari Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan menunjukkan, untuk tahun anggaran 2009, dana yang dianggarkan untuk pengadaan promosi dan informasi (Pencitraan SMK) tidak kurang dari delapan belas juta rupiah. Hal ini menunjukkan keseriusan dari SMK untuk senantiasa meningkatkan mutu lembaganya disertai dengan upaya pencitraan lembaganya di tengah-tengah masyarakat.
Fenomena pencitraan lembaga pendidikan lain yang bisa kita saksikan adalah dari berbagai lembaga pendidikan swasta yang cukup mapan dan memiliki sokongan dana yang kuat. Media yang banyak dimanfaatkan untuk promosinya di antaranya televisi, radio, internet, billboard, sampai Jembatan Penyeberangan Orang (JPO).

Selasa, 12 Mei 2009

MEMULAI PERADABAN ISLAM DI PERGURUAN AL ISLAM

Selama ini belum terlihat Islam sebagai Tindakan dalam kerangka kerja Umat Islam. Yang ada adalah jauh panggang dari api. Umat Islam melakukan sesuatu tidak singkron dengan Kitab Suci Al Qur'an. Sementara Allah mengkritik bahwa: "Hai Orang-orang Beriman Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan. Allah sungguh sangat marah dengan orang yang mengatakan sesuatu tetapi tidak melakukan'. Di ayat lain menyatkan:" Bagai khimar yang diberi kalung kitab". Seakan bahwa mereka membawa Qur'an tetapi "cuek" dengan Qur'an yang dibawa.

Identifikasi Peradaban Islam
Jika dilihat dalam Qur'an, peradaban yang diutamakan adalah budaya:
1. Membaca (surat al 'Alaq: 1 - 5)
2. Menulis (Surat al Qalam: 1-2)
3. Meneliti. (surat Ar Rum: 41-42)
4. Melaksanakan apa yang dibaca, ditulis dan diteliti.
Empat peradaban tersebut belum terpatri dalam diri ummat, sehingga yang terjadi persis yang dinyatakan oleh seorang tokoh: Al Islamu mahjubun bi-almuslimi.

Memulai Peradaban Islam
1. Bukalah pintu perpustakaan lebar-lebar dengan tambahan koleksi buku yang menarik dan baru.
2. Mulailah budaya baca
3. Kurangi ngobrol pada guru.
Semoga bisa dimulai. Amin.

Senin, 30 Maret 2009

MENAKAR KEMBALI SISTEM PEMBIAYAAN PENDIDIKAN

Pemerintah baru saja menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendanaan Pendidikan. Peraturan ini ditetapkan pada tahun 2008 dengan tajuk utama Peraturan Permerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Aturan ini diantaranya menyebutkan bahwa dana pendidikan bisa berasal dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Dana yang berasal dari masyarakat merupakan tumpuan utama dari sekolah swasta. Dana itu bisa meliptu: SPP, dana pembangunan dan dana lain yang syah dan tidak mengikat.
Yang menarik dari PP ini adalah pasal 38 menyebutkan bahwa:
(1) Biaya personalia satuan pendidikan, baik formal maupun nonformal, yang diselenggarakan oleh masyarakat yang menjadi tanggung jawab penyelenggara atau satuan pendidikan yang bersangkutan sekurang-kurangnya mencakup:
a. gaji pokok;
b. tunjangan yang melekat pada gaji;
c. tunjangan fungsional bagi guru dan dosen; dan
d. maslahat tambahan bagi guru dan dosen.
(2) Biaya personalia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja antara penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat dengan masing-masing pendidik/tenaga kependidikan, atau kesepakatan kerja bersama antara penyelenggara
atau satuan pendidikan yang bersangkutan dengan keseluruhan pendidik/ tenaga kependidikan.
Dua ketentuan tersebut menunjukkan Yayasan harus menanggung gaji meliputi: gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan bagi guru. Ketentuan tersebut harus muncul pada Surat Keputusan yang dikeluarkan Yayasan bagi guru honorernya. Dua kepastian tersebut semestinya harus diketahui oleh guru dan pengelola yayasan, sehingga tidak ada kedlaliman pada guru.
"Dan Allah tidak menykai orang-orang yang dlalim", demikian pernyataan Allah.

Minggu, 30 November 2008

MADRASAH IBTIDAIYAH DI TENGAH PERSAINGAN DENGAN SDIT

Penelitian tentang madrasah dalam buku karya Steenbrink menyatakan bahwa jenjang madrasah yang nyaris sudah tidak memiliki madrasah adalah jenjang pendidikan ibtidaiyah. Namun masih terbatas pada madrasah ibtidaiyah di perkotaan. Hal ini terjadi karena masyarakat kota memiliki kecenderungan lebih rasional dalam menentukan sekolah bagi anaknya. Disamping itu MI di perkotaan memiliki kompetitor riil, yaitu sekolah milik Depdiknas maupun SD-SD berlabel Islam. Belum lagi kompetitor dari sekolah-sekolah non Islam. Penelitian tersebut sudah kadaluarsa, masih perlu penelitian tentang MI dengan Sekolah Dasar yang memproklamirkan sebagai SDIT (sekolah dasar Islam Terpadu).

Apa Beda MI dan SDIT
Kalau dilacak sebenarnya tidak ada perbedaan antara MI dengan SDIT karena mata pelajarannya masih relatif sama. Hanya berbeda pada persoalan semua yang memakai istilah madrasah "diharuskan" di bawah DEPAG, sedangkan jika memakai istilah sekolah wajib berada di bawah Diknas. Pengindukan semacam itu berimplikasi pada dana yang akan diperoleh oleh madrasah maupun sekolah. Ada kecenderungan SDIT yang berada di bawah Diknas lebih banyak mendapatkan dana dan dana untuk kesejahteraan guru lebih tinggi serta peluang menjadi PNS lebih besar dibandingkan kalau berada di bawah Depag. Belum lagi ada kesan di tengah masyarakat yang kurang familier terhadap istilah madrasah bahwa sekolah dengan nama madrasah mata pelajaran umumnya terlalu sedikit. Kondisi ini semakin diperburuk oleh banyaknya SDIT yang berdiri, karena semakin meneguhkan kondisi bahwa madrasah adalah sekolah yang memang tidak bersaing dalam mata pelajaran umum. Ini bisa dikatakan sebagai ancaman sekaligus peluang. Ancaman sudah dipaparkan di atas. Peluangnya bahwa MI minimal harus menyesuaikan kebutuhan pelanggan langsung maupun tidak langsung. Ini yang belum dipahami oleh pengelola madrasah. Peluang yang kedua, madrasah bisa mengintegrasikan antara ilmu agama (akhirat) dengan ilmu umum (duniawi). Cara yang bisa dipakai adalah mengkaji kembali Qur'an dan Sunnah sebagai Grand theory.
Selamat mencoba mempraktekkan Qur'an dan Sunnah di sekolah.